Kopi TIMES

75 Tahun Indonesia; Tantangan Menuju Nasionalisme Modern

Jumat, 21 Agustus 2020 - 16:32
75 Tahun Indonesia; Tantangan Menuju Nasionalisme Modern Muhammad Abid Al Akbar, Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jurusan Studi Islam. (Grafis: TIMES Indonesia)

TIMES DENPASAR, JAKARTA – Indonesia adalah suatu relita kebangsaan yang dikenali dengan keragaman ciri-ciri budayanya serta serba-serbi adatnya. Kenyataan tersebut menjadi modal utama bangsa Indonesia untuk melangkah dalam pengembangan dan pembangunan lebih lanjut, menuju cita-cita bangsa yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Tetapi dalam perjalanan Indonesia semenjak kemerdekaannya 75 tahun yang lalu, cita-cita luhur yang diusung oleh para founding fathers kini semakin jauh dari kenyataan. Masyarakat dihantui dengan krisis multidimensional, yang sulit diprediksi kapan krisis ini akan berakhir. Krisis multidimensional yang terjadi pada bangsa ini bukan hanya konflik tribalisme yang masih merebak di beberapa daerah. Akan tetapi,  kategorisasi kaya-miskin yang terus-menerus membuat masyarakat Indonesia semakin tersudutkan akan realita ini.

Mengingat sedemikian besarnya tantangan yang menghambat kemajuan bangsa, diperlukan suatu kekuatan yang besar dan tangguh. Kekuatan itu akan terbentuk dengan adanya konsolidasi ikatan batin dan komitmen semua warga Indonesia terutama untuk para wakil rakyat untuk mewujudkan cita-cita nasionalnya, juga disertai iktikad pembaruan untuk mewujudkan cita-cita tersebut. 

Peneguhan kembali komitmen dan pembaruan iktikad bersama itu memerlukan pengetahuan dasar tentang sejarah pertumbuhan bangsa dan kesadaran akan hakikat proses pertumbuhan itu yang penuh tantangan dan kesulitan, serta apa yang menjadi “perangkat lunak” (software) untuk memudahkan dalam mewujudkan cita-cita yang suci. Sebab itu,  Indonesia masih membutuhkan pengembangan pemikiran mendasar tentang kebangsaan dan kenegaraan, melanjutkan dan memperluas tradisi tukar-pikiran oleh para tokoh pendirinya.

Tidak masalah jika mengatakan bahwasanya masalah dan tantangan bangsa ini belum selesai dan tuntas. Karena hakikatnya sebagai kenyataan yang dinamis, sebaiknya tidak memandang suatu permasalahan bangsa sebagai benda mati yang statis alias mandeg, yang tidak mengalami perubahan dan pertumbuhan secara gradual.

Salah satu bahan yang dapat dikembangkan dalam menghadapi tantangan Indonesia di masa depan adalah urgensi memanifestasikan “perangkat lunak” nasionalisme yang diberi kualifikasi “modern” yang diletakkan dalam bingkai kemanusiaan yang adil dan beradab. Sebab nasionalisme “kuno” adalah ekstensi paham kesukuan yang bersifat tribalisme sewenang-wenang terhadap suku lain.

Sebaliknya, nasionalisme modern akan menghasilkan kestabilan dan akan berfungsi sebagai kekuatan yang menyatukan suku-suku dan kelompok-kelompok etnis yang terpisah-pisah. Oleh karena itu, “perangkat lunak” nasionalisme modern merupakan unsur esensial bagi pembangunan bangsa (nation building) untuk Indonesia, sebuah bangsa yang fragmentasi etnis dan kesukuan ataupun unsur-unsur perbedaan sosial-kultural merupakan ancaman bagi stabilitas bangsa.

Nasionalisme yang berasal dari kata nation yang berarti bangsa, merupakan tindakan yang didasarkan terhadap perasaan akan kesetiaan kepada bangsa. Masyarakat Indonesia harus benar-benar memahami hakikat nasinonalisme (negara-bangsa). Dan hakikat negara-bangsa adalah persatuan kesukuan dan keanekaragaman.

Jadi, negara-bangsa adalah negara untuk seluruh umat, yang didirikan berdasarkan kesepakatan bersama yang mengasilkan hubungan kontraktual dan transaksional terbuka. Oleh karena itu, tujuan negara-bangsa adalah mewujudkan maslahat umum (keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia) atau suatu konsep tentang kebaikan yang meliputi seluruh warga negara tanpa terkecuali.

Dari sudut pandang itu, negara-bangsa berbeda dengan negara kerajaan (khilafah) yang berbentuk tidak berdasarkan kontrak sosial dan tranksasksi terbuka, tetapi hanya karena peloporan seorang tokoh kuat (otoriter) yang dominan. Karena itu, negara kerajaan berdiri demi kejayaan seorang raja dan dinasti-nya.

Sedangkan negara-bangsa (nasionalisme) yang besifat modern dapat memproduksi suatu kebijakan yang seharusnya berdasarkan kontrak sosial semua kebijakannya harus dibuat sepenuhnya tunduk terhadap maslahat umum. Akan tetapi, yang terjadi akhir-akhir ini justru kebijakan yang dibuat oleh para pemerintah membangkang terhadap maslahat umum itu sendiri. 

Mungkin modernitas dalam nasionalisme memang suatu keharusan bangsa. Tetapi suatu “keharusan” tidak dengan sendirinya bernilai positif. Problem yang sampai saat ini nampak selalu menyertai modernitas bangsa Indonesia adalah problem kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin. Setiap wajah cerah masyarakat Indonesia yang modern menyembunyikan di balik dirinya wajah yang suram, yaitu kemiskinan yang menyayat hati.

Ini lebih-lebih lagi benar berkenaan dengan tahap-tahap awal kemunculan zaman Modern yang ditandai dengan kapitalisme yang masih utuh dan “telanjang” sebelum diperlunak oleh ide-ide kemanusiaan dan keadilan sosial. Oleh karena itu, proses modernisasi khususnya bagi Indonesia sendiri dalam mewujudkan “perangkat lunak” nasionalisme modern adalah untuk memperjuangkan pencapaian taraf hidup yang lebih tinggi atau lebih makmur.

Tantangan Masa Depan

Berbagai pikiran terbaik tentang bangsa dan negara telah diletakkan oleh para bapak pendiri. Tetapi sampai saat ini, pikiran-pikiran itu belum seluruhnya terwujudkan dalam kenyataan.

Sebagian kecil yang telah terwujudkan, seperti persatuan seluruh tanah air, terancam untuk mengalami pembatalan karena ulah masyarakat Indonesia sendiri yang tidak memberi perhatian memadai kepada pikiran-pikiran selain masalah persatuan, seperti pikiran tentang kerakyatan dan keadilan sosial. Mengabaikan aspirasi rakyat dengan kekuasaan otoriter telah mendorong masyarakat kepada sikap apatis untuk bertanggung jawab atas keadaan bangsa dan negara. Mereka kehilangan rasa ikut punya dan ikut serta, dan menjadi tidak peduli.

Pemerintahan otoriter yang sudah terasa saat ini, yang menghalangi warga negara untuk dengan bebas menyatakan pikiran, berkumpul dan berserikat, telah mematikan sisa-sisa kemampuan mengambil inisiatif dari bawah. Karena pendekatan-pendekatan penyelesaian masalah bangsa dan negara yang selalu berpola dari atas ke bawah (top-down), rakyat menjadi pasif, hanya bersikap menunggu apa yang bakal terjadi dari atas.

Korelasi pendekatan serba dari atas ke bawah ialah kuatnya sentralisme, yang mendorong terjadinya ketimpangan antara pusat dan daerah. Disertai sikap-sikap tidak adil yang cukup mencolok berkenaan dengan pembagian kembali kekayaan nasional, efek negatif sentralisme menjadi salah satu sebab munculnya berbagai gejolak daerah.

Mewujudkan keadilan sosial dan menaikkan taraf hidup masyarakat Indonesia menjadi tantangan sekaligus cita-cita negeri ini. Problema menurunnya taraf hidup masyarakat Indonesia yang makin tahun memprihatinkan apalagi di masa pandemi ini, perlu kiranya diperhatikan bahwa nasionalisme modern yang berbingkai kemanusiaan yang adil dan beradab merupakan sebuah “perangkat lunak” yang akan mengembalikan hakikat kemerdekaan, serta mewujudkan masa depan yang positif dan optimis. (*)

***

*) Oleh: Muhammad Abid Al Akbar, Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jurusan Studi Islam.
    
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta :
Editor : Wahyu Nurdiyanto
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Denpasar just now

Welcome to TIMES Denpasar

TIMES Denpasar is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.